Senin, 31 Januari 2011

KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana berkat rahmat-Nya dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesehatan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah agar kita semua dapat memahami KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA dalam mata kuliah “Bahasa Indonesia”

Saya menyadari bahwa makalah ini sangatlah jauh dari pada kesempurnaan, untuk itu saya mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun, agar makalah ini dapat berguna bagi kita semua khususnya bagi para pembaca, atas kritik dan saran yang diberikan dosen pembimbing maupun teman– teman, kami ucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya.

Penyusun,


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Istilah kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita pakai. Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”, “Apa fungsi baut yang Saudara pasang pada mesin ini?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai kedua istilah itu tentunya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya. Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa? Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?

Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka ia diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.

Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapinya secara jelas terhadapnya. Pemakaiannya akan memperlakukannya sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.

Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwi lingual), akan dapat ‘memilah-milahkan’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bisa mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa - bahasa itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ ke dalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.

Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusnya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah bahasa.


B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa nasional?
2. Sejauh mana kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa nasional?


C. TUJUAN
3. Mengetahui kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa nasional?
4. Memahami kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa nasional?


BAB II
PEMBAHASAN

A. KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NASIONAL
Janganlah sekali-kali disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran bahasa Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (Untuk meyakinkan pernyataan ini, silahkan dipahami sekali lagi Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia.) Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial masuk ke bumi Nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inpirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 yang konsepa aslinya berbunyi:

Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.

Dari ketiga butir di atas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuati yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka.

Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di atas.

Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosa kata jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahsa Melayu sudah bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.

“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai 

1. Lambang Kebanggaan Nasional,
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.

2. Lambang Identitas Nasional,
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.

3. Alat Pemersatu
Berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.

4. Alat Perhubungan Antar Budaya Antar Daerah.
bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.

B. KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NEGARA
Sebagaimana kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian berikut.

Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan di luar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.

Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu terlihat pada perbandingan berikut ini.

C. BAHASA MELAYU: BAHASA INDONESIA:
a. Bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda, terutama untuk tingkat yang dianggap rendah.
b. Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan atau menurut sistem pemerintah Hindia Belanda.
c. Penerbitan-penerbitan yang dikelola oleh jawatan pemerintah Hindia Belanda. a. Bahasa yang digunakan
    dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
b. Bahasa yang digunakan dalam penerbitan - penerbitan yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita
    perjuangan kemerdekaan Indonesia baik berupa :
    1. Bahasa pers,
    2. Bahasa dalam hasil sastra.

Kondisi di atas berlangsung sampai tahun 1945.

Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan dalam Uud 1945, Bab XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah timbang akan mengakibatkan tidak stabilnya suatu negara. Sebagai contoh konkret, negara tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina, dan India, masih tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.

Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa negara apabila Bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu, Secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan Bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu.

Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia, Singapura, Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama faktor yang nomor (3). Masyarakat multi lingual yang terdapat di negara itu saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah lain sebagai bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia. Ketiga faktor di atas sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas anugerah besar ini.

Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai:



1. Sebagai Bahasa Resmi Kenegaraan,
Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaran ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.Keputusan-keputusan, dokumen-dokumen, dan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaganya dituliskan di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato atas nama pemerintah atau dalam rangka menuanaikan tugas pemerintahan diucapkan dan dituliskan dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap presiden kita, Soeharto yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situsi apa dan kapan pun selama beliau mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah. Bagaimana dengan kita?

2. Sebagai Bahasa Pengantar Resmi Di Lembaga - Lembaga Pendidikan
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bhasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidikan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.

Sebagai bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, Sebagai fungsinya di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh orang kedua (baca: masyarakat).

Sebagai bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda, dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakn bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan.
Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
    Negara/Resmi bias terlihat dari ujudnya,proses terbentuknya dan dari segi fungsinya.
2. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena warga yang berbangsa Indonesia
    yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
    resmi, karena  sebagai warga negara Indonesia yang menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.
3. Dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh proses pembentukan yang berbeda.


B. SARAN
Kita harus dapat memahami kedudukan dan fungsi bahasa indonesia Penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kedudukan dan fungsinyaMenggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

 


DAFTAR PUSTAKA

Zainal Arifin, S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 2004
Slamet Mulyana, Kaidah Bahasa Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1960
Moeliono, Anton M, Bahasa Indonesia dan Ragam – Ragamnya, Bharata, Jakarta, 1980
SYARAT – SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

SYARAT – SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI

KATA PENGANTAR
     Alhamdulillah, makalah yang berjudul “SYARAT – SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI” yang kami susun telah selesai, mudah – mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita. Ketika kita mengkaji ilmu hadits atau lebih popular dengan nama ilmu musthalah hadits, kita akan mendapati  bahwa bagian terpenting yang menjadi objek kajian dalam disiplin ini adalah meneliti otentisitas suatu hadits. Karenanya, dalam sudut pandang ini secara praktis ilmu hadits sesungguhnya sudah di kenal semenjak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semuanya masih dapat dengan mudah berpulang langsung kepada Nabi Muhammad SAW untuk di lakukan cek dan riceknya. 
     Oleh sebab itu di dalam makalah ini sangat penting bagi kita untuk mengetahui “SYARAT – SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI” (Ilmu Hadits) dalam menerangkan tujuan yang kita capai bagi kita semua. Bila ada kekurangan dalam menyusun makalah ini kami minta saran dan pendapatnya agar tercapai tujuan yang di harapkan.


                                                                                                Penulis,
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL    
KATA PENGANTAR    
DAFTAR ISI    

BAB I.    PENDAHULUAN
               A.    LATAR BELAKANG
               B.    TUJUAN PENULISAN   

BAB II.    PEMBAHASAN
                 A.    PENGERTIAN RAWI   
                 B.    SYARAT – SYARAT SEORANG PERAWI   
                 C.    TAHAMMUL WAL-AD DAN SHIGHAT – SHIGHATNYA   
                 D.    KEDUDUKAN BOLEH TIDAKNYA MERIWAYATKAN HADITS DENGAN
                         MAKNA   

BAB III.   PENUTUP
                 A.    KESIMPULAN   
                 B.    SARAN – SARAN   

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Mayoritas ulama hadits, ushul dan fiqih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Olabit), serta memiliki integritas keagamaan yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal – hal yang postif atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Semetara itu untuk mencapai tingkat  adalah   seseorang   harus  memenuhi  empat  syarat yaitu : a. islam, b. baligh, c. berakal, d. takwa.

B. TUJUAN PENULISAN
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut :
Untuk menjadikan pendorong kelompok kami, betapa pentingnya “STUDI HADITS” untuk kita pelajari sehingga kita dapat menjadi berkepribadian yang baik namun bukan berarti kita harus menjadi orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu banyak memiliki kekurangan. Melainkan yang menjadi tolak ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekurangannya, dan kekurangannya dapat ditutupi oleh kelebihannya.



BAB II
PEMBAHASA

A. PENGERTIAN RAWI

Menurut ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan tergas atau sebaliknya.

Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al Saba’i memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi kredibilitas perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat penting. Siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak. Layak dijadikan sumber hukum atau tidak.

Seorang rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dai ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.

Karakter yang terdapat dalam diri seorang rawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal – hal postif atau rawi selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan.



B. SYARAT – SYARAT SEORANG PERAWI

Benar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.

Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.

Perawi harus menyertakan kalimat – kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku Nabi.

Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits. Harus dengan lapadz. Kedudukan boleh tidaknya  meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.


C. TAHAMMUL WAL – AD DAN SHIGHAT – SHIGATNYA
Tahammul wal – ad adalah “mengambil atau menerima“ hadits dari salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. Cara menerima hadits ada delapan cara :

1.    Mendengar (Al Sama’)
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup imlak (pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits. Simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits ini kepada kami)

2.    Membaca (Al  Qira’ah)
Yaitu sipembaca menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang membacakan haditsnya pada seorang guru atau orang lain membacakan dan kita mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya. (aku bacakan hadits ini kepada fulan)

3.    Ijazah (Al Ijazah)
Yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang lain. Pemberian izin oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan cara tertulis “aku berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari”

4.    Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”.

5.    Menulis (Al Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain. Kata – kata yang di pakai “seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”.

6.    Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang guru hadits menerima hadits tersebut dari guru hadits sebelum tanpa ada perkataan atau suruhan untuk meriwayatkan, kemudian ini ia sampaikan kepada muridnya. “seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujarnya telah berkata kepadaku”.

7.    Wasiat (Al Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkan kepada orang lain. Waktu berlakunya di tentukan oleh orang yang memberi wasiat. Demikian pula dengan bimbingan dan kewenangannya. “seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang berkata dalam kitab itu “telah bercerita kepadamu sifulan”

8.    Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”.

Dari delapan model dan cara  transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas, yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif dan valid. Selebihnya di persilahkan perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi lebih disebabkan karena mereka sangat berhati – hati dalam meriwayatkan hadits.

Periwayatan hadits dengan makna dapat ditujukan sebagai penyampaian hadits dengan menggunakan rumusan kalimat sendiri yang dapat memelihara substansi pesan dan tujuan semula. Dapat pula dirumuskan sebagai periwayatan hadits yang menggunakan lapadz – lapadz yang berbeda dengan teks asli tetapi kandungan isinya tetap terjamin sesuai dengan maksud awal hadits.
D. KEDUDUKAN BOLEH TIDAKNYA MERIWAYATKAN HADITS DENGAN MAKNA
Sejak sahabatpun sudah controversial. Namun pada umumnya para sahabat membolehkannya. Misalnya Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud (W.32 H / 652 M), Anas bin Malik (W.98 H / 711 M), Abu Darda (W.32 H / 652M), Abu Hurairah (W. 58 H/ 678 M), dan Aisyah binti Abu Bakar (Isteri Nabi) membolehkan periwayatan hadits dengan makna. Sedangkan yang tidak membolehkan diantaranya Umar bin Al-Khatab, Abdullah bin Umar bin Khatab dan Zain bin Arqam. Tetapi sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatannya dengan lapadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna. Hal ini dimungkinkan karena adanya kesulitan periwayatan tersebut, apabila seluruh sabda Nabi harus ditiru persis.

Namun demikian generasi keenam periwayat hadits seperti Abu Bakar bin Al-Araby (W. 573 H / 1148 M) berpendapat bahwa periwayatan hadits dengan makna hanya di bolehkan bagi sahabat. Menurutnya selain sahabat tidak di perkenankan untuk meriwayatkan hadits dengan makna. Dalam pada itu, dikalangan tabi’in juga terdapat perbedaan. Sehingga Subhi As-Shalh menjelaskan hasil pengamatan Ibnu Aun yang menunjukkan bahwa Al Qasim bin Muhammad, Raja’ bin Habwat dan Muhammad bin Sirin mengharuskan riwayat dengan lapadz.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Seorang perawi benar – benar mengetahui / memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam dan mengerti lapadz dan maksudnya dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat. Perawi harus menyertakan kalimat yang menunjukan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan sehingga terpelihara kesalahan dari periwayatnya.

para perawi dalam kondisi lupa susunan harpiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat di perlukan hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits dengan alasan lupa susunan harpiah dan lapadznya. Sementara nilai pokok (hukum) yang terkandung dalam hadits tersebut sangat diperlukan umat islam.

Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas pada masa di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits, harus dengan lapadz periwayatan hadits dengan makna terbatas. Oleh karenanya, boleh tidaknya meriwayatkan hadits dengan makna, sejak jaman nabi pun sudah controversial. Namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya.



B. SARAN – SARAN
Adapun saran dari kelompok tujuh :
Sebagai mahasiswa kita harus dapat menunjukkan etika yang baik di mata masyarakat namun bukan berarti kita harus menjadi orang yang sempurna. Yang menjadi tolak ukur disini adalah kekurangannya dapat di tutupi oleh kelebihannya.




DAFTAR PUSTAKA

Prof. KH. Mustafa Yakub, M.A, Dasar – Dasar Ilmu Hadits
Drs. Yusuf Saefullah, M.Ag, Pengertian Ilmu Hadits
Drs. Cecep Sumarna, M.Ag
http://udink.wordpress.com/tahamul-ada-hadis/